Becak, Lahir karena Cinta Lalu Mendunia

Aku mau tamasya berkeliling-keliling kota

Hendak melihat-lihat keramaian yang ada

Aku panggilkan becak, kereta tak berkuda

Becak, becak, coba bawa saya

Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki

Melihat dengan asyik, ke kanan dan ke kiri

Lihat becakku lari, bagaikan tak berhenti

Becak, becak, jalan hati-hati

(Ibu Sud)

 

Penulis yakin, waktu kecil dulu Pembaca sekalian cukup akrab dengan lagu anak-anak ini. Liriknya yang sederhana dan nadanya yang ceria sangat mudah didendangkan. Biasanya sama-sama menyanyikan lagu ini ketika berdarma wisata, bahkan walaupun tidak sedang naik becak. Ibu Sud tentu tak sekadar asal menggubah lagu saja, apalagi lagu itu bicara tentang becak. Pastinya ada sesuatu yang “menggelitik” sampai-sampai Ibu Sud mencipta lagu ini, khusus untuk becak.

Becak. Semua pasti telah tahu. Kendaraan tanpa mesin yang beroda tiga. Atau kini, seiring majunya peradaban, bahkan becak “ditempeli” mesin. Apalah itu, yang jelas becak telah menjadi ingatan kolektif kita yang hidup di kota-kota. Apalagi kini ada beberapa kota yang melarang becak beroperasi. Bagaimana pun, memang tak dapat dipungkiri becak telah menjadi bagian keseharian kita di Indonesia. Nah, tahukah Pembaca sekalian, dalam sejarahnya becak lahir ke dunia karena rasa cinta? Loh, kok bisa…. ya bisa, makanya simak artikel ini.

Karena Cinta Lahirlah “Becak”

“Perjalanan hidup” becak berawal di Jepang pada abad 19. Lebih tepatnya lagi, prototipe becak muncul di Yokohama pada 1865. Tapi bukan orang Jepang yang menciptakannya. Saat itu Jepang telah membuka kembali negerinya bagi orang-orang Barat dan sebagian besar kebudayaan Barat diperkenalkan pertama kali di Yokohama ini. Yokohama yang sebelumnya hanya desa para nelayan berkembang pesat seiring dengan semakin besarnya intensitas perdagangan internasional melalui kota ini.

Jinrikisha Jepang, kendaraan favorit bangsawan.

Kala itu Yokohama adalah kota metropolitan baru yang indah menurut orang Barat yang tinggal di Jepang. Terutama saat malam, jalanan kota semakin semarak dengan hadirnya lampu-lampu berbahan bakar gas. Adalah seorang Amerika bernama Eliza Week yang lumpuh sangat ingin berkeliling menikmati keelokan Yokohama. Beruntung ia memiliki suami yang penyanyang, Jonathan Goble. Karena cintanya yang besar kepada Eliza, Goble kemudian bekerja keras merancang kendaran yang praktis untuk membawa istrinya itu berjalan-jalan menikmati Yokohama.

Rancangan Goble adalah sebuah kendaraan mirip kereta kecil tanpa atap dan ditarik oleh manusia. Kemudian rancangan itu ia kirimkan kepada sahabatnya bernama Frank Pollay. Pollay kemudian merealisasikan rancangan Goble dibantu oleh seorang tukang besi bernama Obadiah Wheeler. Itulah saat pertama kali “becak kuno” muncul, sebuah kereta kereta kecil yang ditarik dengan tenaga manusia. Orang-orang Jepang menyebutnya Jinrikisha dan penariknya disebut Hiki.

Perjalanan Becak Sampai Indonesia

Ternyata, bukan hanya Eliza saja yang kemudian menyukai jinrikisha ini. Orang-orang kaya dan bangsawan Jepang ternyata kepincut juga menyaksikan jinrikisha. Dari situ mulailah perkembangan jinrikisha menjadi salah satu moda transportasi umum di Jepang. Peminatnya memang kebanyakan para hartawan dan bangsawan baik Barat maupun Jepang.

Pada paruh terakhir abad 19 jinrikisha sampai di China dan berkembang pesat di sana. Di China orang menyebutnya Rickshaw. Sama seperti di Jepang, rickshaw menjadi kendaraan kebanyakan kaum hartawan, bahkan ada yang menjadikannya sebagai kendaraan pribadi. Sering kita sekarang ini melihat film-film mandarin yang menampilkan rickshaw ini. Dari China kemudian rickshaw menyebar ke daerah-daerah Asia lainnya.

Menurut beberapa sumber, pada dekade 1940-an kendaraan semacam ini menjadi pemandangan yang umum di kota-kota Asia. Hanya saja rickshaw atau jinrikisha ini tak lagi berpenampilan dengan dua roda mati dan ditarik manusia. Saat itu modifikasi telah dilakukan dengan penggunaan ban karet dan tiga roda. Orang yang mengayuh kendaraan ini berada di belakang kursi penumpang. Bisa dibilang itulah model becak yang berkembang sampai sekarang.

prototipe becak di China, berkembang dari jinrikisha Jepang.

Kata “becak” sendiri bukanlah asli dari kata bahasa Melayu-Indonesia. Bahkan bisa dikatakan itu adalah penyebutan yang salah kaprah. “Becak” adalah pengucapan orang-orang kita untuk kata bahasa Hokkian “Be Chia”, yang artinya kereta kuda. Bacak sendiri, menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pedicab in Yogyakarta: A Study of Low Cost Transportation and Poverty Problems, di Indonesia telah berkeliaran di jalanan-jalanan kota Batavia sejak dekade 1930-an. Lalu disebutkan pula dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, bahwa pada sekitar 1940-an becak juga telah merambah Surabaya. Memang masih simpang siur kapan pertama kali becak dikenal di Indonesia (Hindia Belanda). Namun dari keterangan-keterangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa saat itu becak telah diakui sebagai kendaraan umum. Perkembangan becak sebagai moda transportasi umum terus meningkat seiring waktu. Bahkan sekitar tahun 1950-an, telah berkembang beberapa toko yang menjual dan juga bengkel becak. Setidaknya ada tiga “pemain besar” dalam industri perbecakan kala itu (terutama di Yogyakarta) yaitu Lei Kiong, HBH, dan Rocket. Ada juga jasa persewaan becak Tetap Jaya yang terus berkembang hingga pada dekade 1990-an ia meraih kejayaan.

Becak Riwayatmu Kini

Fenomena becak adalah fenomena urban. Ia lahir dari perkembangan pesat modernitas perkotaan di Asia pada masa kolonial. Menurut Rebecca Lemaire dalam The Becak: A Re(d)ordered Cycle, perwujudan becak (cycle-rickshaw) dengan tiga rodanya merupakan gejala global yang lahir dari transformasi “becak tandu” (sedan chair) dan “becak tarik” (pull rickshaw, dalam bahasa Jepang disebut Jinrikisha) di Jepang, sebagai gejala awal dimulainya proses modernisasi (pemeradaban) perkotaan. Mobilitas dan kepraktisannya menjadikan becak amat digemari.

Namun pada akhirnya terjadi paradoks yang tak dapat dihindari, justru karena modernitas yang tak pernah berhenti. Jika dahulu becak adalah “anak” kemajuan perkembangan dan modernitas kota, maka kini (di beberapa daerah) becak adalah “sampah” modernitas. Ketika teknologi transportasi terus melesat, becak tak mampu mengejarnya. Ia pada gilirannya dipinggirkan. Geliat jalanan yang cepat pesat tak mampu diakomodasi lagi oleh becak yang alon-alon waton kelakon.

Becak masa kini, punya potensi besar di bidang turisme.

Kita lihat saja di Indonesia kita. Ketika motor-motor dan mobil-mobil berdesak-desakan berebut jalanan, becak disuruh menyingkir. Fenomena becak sebenarnya adalah juga penampung tenaga kerja-tenaga kerja tak terdidik yang subur. Ketika kota telah penuh sesak dengan manusia, becak yang menjadi penyedia “ruang hidup” di kota dipandang sebagai masalah. Kemampuannya menampung warga urban dari desa-desa adalah masalah bagi pembangunan kota. Ada juga yang bicara bahwa bacak adalah pemerasan kemanusiaan. Tidak sepantasnya manusia yang beradab dan mengerti HAM menghalalkan becak yang menguras tenaga manusia. ia dianggap memperbudak manusia secara halus.

Becak dimarjinalkan akhirnya. Pemerintah Jakarta, yang tak mau pembangunan kotanya dikotori telah lama menyingkirkan becak dari jalanan Jakarta. Pada 1988 keluarlah Perda nomor 11 yang mengatur secara tegas pelarangan becak berkeliaran di jalanan ibukota negara itu. Bahkan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 pasal 29 ayat 1(a)  berbunyi, “Setiap orang atau badan dilarang, a. melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya. b. Mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya.”

Padahal jika mau lebih adil memahami, becak memiliki beberapa keunggulan yang bahkan tak mampu dipenuhi moda transportasi selainnya. Becak adalah moda transportasi umum yang nirpolusi dan tidak mengotori, mampu melayani secara door to door dan interaktif dengan penumpangnya, socially acceptable dan mempu menjangkau hampir semua kawasan urban perkotaan, juga praktis dari sisi mekanikalnya. Potensi-potensi inilah yang sebenarnya perlu kita ketengahkan dalam melihat becak.

Terutama dari sisi pariwisata, tampaknya becak hari ini tak dapat diremehkan. Sama sekali. Lihatlah Yogyakarta dan Solo yang mempertahankan becak-becaknya. Ternyata becak bukan hanya membawa isu masalah transportasi yang tidak manusiawi, tapi juga punya potensi turisme yang sangat prospektif jika dikembangkan dan dikelola secara total, tidak hanya dipandang secara parsial. Sepertinya Ibu Sud telah jauh-jauh hari mewartakan hal ini, simaklah kembali lagu di atas.

(Oleh Fafa Firdausi)

Sumber :

Haryadi, Blasius. 2011. The Becak Way; Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek. Solo : Metagraf.

Murti, Yoshi Fajar Kresno. 2007. Perjalanan becak, perjalanan kota: benarkah becak Yogyakarta (masih) raja jalanan?. Diakses dari http://www.karbonjournal.org/focus/perjalanan-becak-perjalanan-kota-benarkah-becak-yogyakarta-masih-raja-jalanan, pada 5 Oktober 2011.

Pengemudi Becak Tuntut Jalur Khusus Becak. Diakses dari vivanews.com pada 5 Oktober 2011.

Modernisasi Becak; Sebuah upaya mewujudkan kesinambungan peran becak dalam pengembangan pariwisata Yogyakarta. Diakses dari http://ust.puspar.ugm.tripod.com/becak.htm, pada 6 oktober 2011.

7 responses

  1. Becak adalah transportasi kesenanganku waktu masih kecil. Kalau dikhususkan untuk mengangkut turis saja tentulah tidak cukup penghasilan dari tukang becak. Untuk itu perlu adanya tempat mangkal khusus untuk becak. Ingat mereka juga manusia yang butuh mencari nafkah bagi keluarganya.

    1. Sebenarnya banyak potensi yang bisa dieksplorasi (bukan eksploitasi) dari becak. Ia memiliki nilai kultural yang lekat dengan masyarakat kita, terutama rakyat kecil. Yah, kita berharap semoga pemerintah sadar akan potensi itu dan bijaksana mengelolanya sehingga penarik becak pun bisa tersenyum 🙂

  2. ternyata awalnya from jepang,yokohama,saya baru tau lho 😀

    1. Kalau begitu, tujuan blog ini terpenuhi… memberikan wawasan yg baru hehe

  3. ijin copas ya mas…
    saya suka artikel ini. kebetulan sekolah anak saya minggu dpn mo baksos dgn para abang becak. saya pgn mencantumkan sedikit ttg sejarah dunia per-becak-an buat menambah wawasan para ortunya.
    semoga bisa menjadi wacana bagi kami semua dan menambah kepedulian sosial anak2 kami..

    1. Silakan Ibu Ayu, dgn senang hati. Tolong sumber referensi yg ada di artikel dan alamat blog ini turut juga dicantumkan 🙂

      Senang sekali kami bisa turut membantu acara tersebut dengan artikel ini. Salam sukses 🙂

  4. Mas boleh tau dimana mencari buku-buku referensi atau sumber tentang sejarah becak?
    Saya akan jadikan ini sebagai bahan TA.
    Terimakasih 🙂

Tinggalkan Balasan ke Sejarawan Muda Batalkan balasan