KH Ahmad Dahlan, Sebuah Biografi Pemikiran (Bagian 2)

(Tulisan sebelumnya dapat dibaca di sini)

Pokok-pokok & Aktualisasi Pemikiran KH Ahmad Dahlan

Telah penyusun jelaskan di atas bahwa Kyai Dahlan selama di Mekah dalam hajinya yang pertama dan kedua banyak berguru demi memperdalam wawasan ke-Islamannya. Telah kita sama-sama ketahui pula seperti apa keadaan Timur Tengah semasa beliau belajar di sana. Dari kedua premis ini dapat kita ambil benang merah terkait perkembangan pemikiran Kyai Dahlan sepulang dari Mekah. Ketika pemahamannya akan keberagamaan kian matang ia pulang dan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakatnya yang terkadang tidak sejalan dengan pengetahuan yang beliau terima di Mekah.

Kyai Dahlan tentulah pernah bersentuhan dengan gagasan pembaruan Islam yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Lagipula beliau juga belajar di Mekah yang merupakan bagian dari tanah Arab yang ketika itu diwarnai dengan gerakan-gerakan purifikasi Islam ala Wahabi. Persentuhan intelektual ini jelas meninggalkan bekas mendalam bagi Kyai Dahlan. Bertolak dari situlah Kyai Dahlan mulai menghayati perlunya suatu gerakan pembaruan Islam di kampung halamannya. Ketika Islam telah tercampur aduk dengan tradisi dan umat muslim kian terjebak dalam formalitas agama jelas harus ada yang ‘meluruskannya’ kembali. Inilah peran besar yang diambil oleh Kyai Dahlan dengan penuh keinsyafan.

Penyusun berpendapat bahwa pemikiran pembaruan dan pemurnian Islam Kyai Dahlan merupakan sebuah sintesis pemikiran. Kyai Dahlan sampai pada cita-citanya setelah ‘terlibat’ dialog intelektual dari pembacaannya terhadap gagasan-gagasan serupa di Timur Tengah dan kegelisahannya menghadapi kenyataan sosio-kultural masyarakat muslim Jawa yang terjebak formalitas keagamaan. Yang otentik dari Kyai Dahlan Adalah model gerakannya yang mengakar. Tajdid aatau pembaruan dihayati sebagi sebuah gerakan sosial yang tidak hanya mandeg di tataran ide, tapi juga tindakan nyata yang menyentuh langsung kehidupan umat muslim. Dalam bahasa Mohammad Damami, MA, dalam karyanya Akar Gerakan Muhammadiyah, bergama harus menyapa kehidupan. Untuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok pemikiran Kyai Dahlan dan aktualisasinya akan penyusun uraikan di bawah ini.

  • Pembaruan & Pemurnian Islam 

Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Di sinilah sintesis intelektual yang penyusun sebut di atas muncul. Upaya Kyai Dahlan ini memiliki kemiripan jika kita bandingkan dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, bahkan dengan gerakan Wahabi di Arab Saudi. Namun kita harus menarik garis batas yang tegas ketika kemiripan gagasan ini sampai pada aktualisasinya. Tidak seperti gagasan reformis Timur Tengah yang cenderung frontal dan banyak menimbulkan ekses-ekses negatif, aktualisasi yang dilakukan Kyai Dahlan justru berlaku sebaliknya. Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya untuk buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani menegaskan bahwa Kyai Dahlan sangatlah toleran dengan praktik keagamaan di zamannya dan memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan berbagai golongan. Seperti yang kita tahu bersama, Kyai Dahlan adalah juga anggota BU dan sering memberikan ceramah-ceramah di berbagai daerah. Itulah bukti kecil yang menandaskan bahwa gagasan-gagasan Kyai Dahlan diterima dengan baik.

  • Gerakan Sosial & Pendidikan

Sebelum sampai pada gagasan pembaruannya, Kyai Dahlan terlebih dahulu mengawali cita-citanya melalui gerakan sosial dan pendidikan. Kyai Dahlan pernah memobilisasi kawan-kawannya di daerah Kauman untuk memperbaiki kondisi higienis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit-parit. Pekerjaan ini ia lakukan secara sukarela. Suatu contoh kecil bahwa keikhlasan menjadi dasar yang penting bagi gerakan sosial ala Kyai Dahlan.

Sebuah adegan dalam film 'Sang Pencerah' yang menggambarkan aktivitas sosial Kyai Dahlan.

Warga Muhammadiyin tentu tidak asing dengan cerita tentang ‘pengajian Al-Ma’un’ oleh Kyai Dahlan. Bagi Kyai Dahlan, surat Al-Ma’un bukanlah hanya sekadar surat yang hanya dibaca dan dihafal. Banyak umat muslim yang hafal surat ini namun masih miskin penghayatannya. Kyai Dahlan menekankan pentingnya pengejawantahan pemahaman dalam aksi yang nyata. Dalam setiap ceramahnya, Kyai Dahlan secara istiqamah menyerukan bagi setiap orang yang mampu untuk memenuhi hak dan berlaku adil terhadap orang-orang miskin, yatim piatu, dan mereka-mereka yangterlantar. Dari seruan itu lahirlah lembaga pengelola zakat. Dari pemikiran itulah lalu lahirlah rumah sakit dan panti asuhan yang bernaung di bawah panji organisasi Muhammadiyah.

Yang tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.

Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.

Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.

Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.

Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.

  • Etos Guru-Murid

Satu buah pikir Kyai Dahlan yang tidak banyak diketahui adalah konsepsinya tentang apa yang di sebut oleh Abdul Munir Mulkhan sebagai Etos Guru-Murid. Etos guru-murid dapat dikembangkan sebagai etika dasar dari sebuah masyarakat demokratis dan etika dasar dari sebuah masyarakat pembelajar atau learning society di negeri yang sedang ‘belajar’ berdemokrasi ini. Etos guru adalah kesediaan setiap warga untuk memberikan ilmu dan teladan yang baik. Etos murid ialah kesediaan warga untuk selalu terbuka agar bisa mengakui dan belajar pada kebaikan orang lain.

Bagi Kyai Dahlan, setiap umat muslim dan umat beragama yang lainnya harus membangun di dalam dirinya etos kehidupan dan etos sosial sebagai seorang guru sekaligus sebagai murid. Inilah inti dari gerakan sosial yang dilakukan oleh Kyai Dahlan dan pada perkembangan selanjutnya menjadi nilai penting dalam Muhammadiyah. Etos guru-murid ini mencegah masyarakat terseret pada kebekuan ritual keagamaan dan gerakan yang terkadang tidak mengakar. Sehingga gerakan yang dilakukan mempunyai fungsi pragmatis pemecahan problem sosial.

Nilai penting dari etos guru-murid ini adalah sifatnya yang non-elitis. Rakyat dan orang awam tidaklah selamanya menjadi ‘murid’ yang turut saja pada kata-kata pemerintah. Karena itulah etos guru-murid ini sangat pas dengan demokrasi di Indonesia dan sebuah bentuk perlawanan terhadap hegemoni sosial-politik kaum elit.

Hujatan & Pembelaan

Layakkah kita menyebut seorang Kyai Dahlan sebagai seorang pembaru? Maka kita harus memandangnya secara objektif dengan menimbang berdasarkan pendekatan yang telah disepakati di bagian pengantar makalah ini. Dalam konteks global dunia Islam, jelas Kyai Dahlan tidak serta merta dapat kita golongkan sebagai seorang pembaru. Harus kita akui, sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, bahwa apa yang beliau bawa merupakan sintesis dari pemikiran-pemikiran tokoh pembaru dunia Islam seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Namun, jika kita tarik dalam konteks Indonesia, peran Kyai Dahlan tidaklah sederhana dan sepintas lalu dalam memecah kebekuan formalitas beragama masyarakat saat itu. Ketika Islam, seperti tesis Prof. Snouck Hurgronje, terpisahkan dari ranah sosial dan politik, Kyai Dahlan muncul dengan ide sinergi pendidikan yang membawa perubahan besar di dunia pendidikan. Ketika Islam menjadi terbatas pada laku individu, Kyai Dahlan dengan spirit Al-Ma’un-nya datang membawa gerakan-gerakan sosial untuk melepaskan masyarakat muslim dari keterpurukan. Dan yang terpenting dari semua itu adalah bahwa otentisitas metode gerakannya, jika kita bandingkan dengan tokoh-tokoh yang dianggap pembaru.

Meski begitu, tidak serta merta kemudian Kyai Dahlan lepas dari tantangan-tantangan. Bahkan sejak awal beliau memulai merintis gerakannya pihak Abdi Dalem Pemethakan, dinas di mana beliau mengabdi, telah bersikap frontal terhadap ide-idenya. Simaklah bagaimana Kyai Khalil Kamaludiningrat, penghulu Masjid Gede, sangat menentang Kyai Dahlan. Sarannya ‘mengubah’ arah kiblat ditentang dan mushola tempat Kyai Dahlan mendidik santri-santrinya dirobohkan. Juga anggapan-anggapan miring yang menyamakannya dengan gerakan Wahabisme Arab.

Kuntowijoyo menjelaskan bahwa dalam dakwahnya Kyai Dahlan mengahadapi tiga front, yaitu kaum modernis, tradisionalis, dan Jawais. Pendirian sekolah Muhammadiyah dan lembaga-lembaga sosial di bawah naungan Muhammadiyah merupakan jawaban kongkretnya terhadap gempuran Barat yang tak sedikit membawa pengaruh negatif terhadap Islam. Kemudian dalammenghadapi kaum tradisionalis yang cenderung elitis, Kyai Dahlan menerapkan metode tabligh dengan langsung mendatangi umat. Tradisi tabligh sebenarnya telah ada sejak lama, namun metode Kyai Dahlan ini terbilang baru dan malah dianggap ‘aib’. Anggapan sementara orang yang memegang tradisi bahwa muridlah yang seharusnya mendatangi guru, bukana guru yang mendatangi murid. Apalagi mengingat kedudukan Kyai Dahlan sebagai ketua Muhammadiyah dan khatib amin Masjid Gede Yogyakarta. Hal itu tidak lazim bagi kalangan tradisionalis yang masih kuat kefeodalistikannya.

Metode tabligh Kyai Dahlan ini menurut penjelasan Kuntowijoyo membawa dua implikasi. Pertama, perlawanan tak langsung terhadap idolatri (pengultusan tokoh) dan perlawan tak langsung terhadap mistifikasi agama. Pada masa itu, kedudukan seorang ulama di tengah-tengah masyarakat sangat tinggi. Menjadi ulama berarti juga menjadi seorang golongan elit, seorang suci yang menjadi mediator antara Tuhan dan makhluk. Di sinilah metode tabligh ala Kyai Dahlan menunjukkan perlawanannya. Ulama, dengan mendatangi muridnya yang secara tradisional dipandang lebih rendah derajatnya merupakan perbuatan di luar kelaziman. Dengan begitu, dalam anggapan kaum tradisionalis, maka posisi ulama menjadi kehilangan kesakralannya. Inilah sifat Kyai Dahlan yang egaliter dan menunjukkan sisi tolerannya.

Lalu tabligh juga dipandang sebagai perlawanan terhadap mistifikasi agama. Ilmu agama dianggap sebagai ilmu tinggi yang tidak sembarang orang boleh mengajarkannya. Hal inilah yang menyebabkan agama menjadi monopoli kaum elit keagamaan. Dengan tabligh-nya, Kyai Dahlan membongkar tradisi agama yang misterius menjadi sederhana dan aksesibel bagi setiap orang. Namun, bukan berarti bahwa nilai ilmu agama itu menjadi rendah.

Terakhir, terhadap kaum Jawaisme yang masih kuat dengan tradisi kejawennya, Kyai Dahlan menggunakan metode positive action dalam bahasa Kuntowijoyo. Kyai Dahlan mengedepankan amar ma’ruf dan tidak secara frontal menyerang. Disebutkan dalam Suara Muhammadiyah Tahun I, Nomor 2, 1915 ada artkel yang menjelaskan tentang macam-macam salat sunnah. Kyai Dahlan menyebutkan bahwa keberuntungan itu semata-mata karena Allah dan salat sunnah adalah salah satu jalan meraihnya. Tidak secara eksplisit Kyai Dahlan melarang adanya pesugihan atau perbuatan tahayul semacamnya. Kyai Dahlan sadar bahwa gagasan-gagasan kemajuan sedang tumbuh di masyarakat, sehingga dengan sendirinya nanti masyarakat akan sadar akan demitologisasi dan mengedepankan rasionalisasi. Jadi tidak diperlukan suatu larangan frontal yang sebenarnya malah menjauhkan cita-cita modernisasi dari tradisi.

Penutup

Pengurus Muhammadiyah 1918-1921

Warisan Kyai Dahlan yang terutama, seperti juga kita semua mafhum, adalah organisasi massa Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Di tengah kritikan dari para ‘abdi dalem’-nya sendiri dan juga tokoh dari luar, Muhammadiyah berhasil menjadi role model di mana Islam dan ide-ide kemajuan dengan gemilang disinergikan. Secara tak langsung pula, Muhammadiyah merupakan ‘anak kandung’ intelektual Kyai Dahlan. Dari kegelisahan seorang ulama muda yang mendapati umatnya terkungkung dalam formalitas dan tradisi yang feodalistis, beliau hadir membawa gerakan pembaruan yang dinamis dan membumi. Meski tak lepas dari kritik, secara objektif dapat kita katakan bahwa Kyai Dahlan dan Muhammadiyahnya adalah sebuah pencerahan sosial.

Daftar Pustaka: 

Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.

Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.

Hitti, Philip K. 2006. History of the Arabs (terj. R. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Riyadi). Jakarta: Penerbit Serambi.

Mulkhan, Abdul Munir. 2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Bentang Budaya.

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.

Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath.

Taufik, Akhmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.

 

(Oleh : Fafa Firdausi, dengan bantuan materi dari Vita Purnama dan Reninta Kusuma Ranti)

4 responses

  1. nice artcle…. 🙂
    salam

    1. Salam balik dan Terima Kasih telah mampir 😀

  2. membantu sekali dlm pengetahuan sejarah muhammadiyah..
    thanks

  3. terima kasih materi pencerahannya

Tinggalkan Balasan ke pakaianindonesia Batalkan balasan